Seperti yang kujanjikan,
beberapa teman kantorku akhirnya menjadi langganan pijatan Bu Rahmi setelah aku
mempromosikannya. Rupanya pijatannya benar-benar disukai para pria. Termasuk
Pak Watik, atasanku.
Bahkan ada dua temanku yang
menanyakan kemungkinan untuk tidak sekadar mendapat layanan memijat dari Bu
Rahmi tetapi lebih dari itu. "Kayaknya bisa nggak To kalau Bu Rahmi diajak
begituan. Aku suka lho wanita tipe seperti dia. Sudah tua tapi tubuhnya masih
bagus dan terawat," kata Rizal, teman sekantorku suatu hari setelah hari
sebelumnya dipijat Bu Rahmi di rumahnya.
Rizal juga cerita, saat
dipijat ia sempat menggerayang ke balik daster yang dipakai Bu Rahmi. Tetapi
ternyata, kata Rizal, Bu Rahmi di samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut
juga memakai celana dalam rangkap. "Entah rangkap berapa celana dalam yang
dipakainya. Aku sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia," ungkap
Rizal menambahkan.
Mendengar ceritanya aku jadi
ingin ketawa sekaligus bangga. Sebab ide memakai pakaian seperti itu saat
memijat memang atas saranku. Karena kuyakin para pria pasti tertarik untuk
iseng dan coba-coba. Tetapi agar Rizal menjadi penasaran dan tetap menjadi
langganan pijat, kukatakan padanya kalau aku tidak tahu bisa tidaknya Bu Rahmi
memberi layanan seks selain memijat.
"Selama ini sih aku hanya
tahu ia tukang pijat yang baik dan pijatannya enak. Kalau sampai ke masalah itu
saya tidak tahu. Mungkin kalau pendekatannya pas bisa saja ia mau melayani.
Apalagi kan udah cukup lama ia ditinggal suaminya," ujarku.
Pria lain yang juga
terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Bu Rahmi adalah atasanku.
Bahkan setelah aku sering mengantar Bu Rahmi untuk memijat, karena Pak Watik
lebih senang pijat di rumahnya, ia menjadi semakin dekat denganku. Aku juga
dipercaya memegang sebuah proyek dengan nilai cukup besar, sesuatu yang belum
pernah dipercayakan padaku.
Menurut Pak Watik, pijatan Bu
Rahmi bukan hanya enak tetapi juga mampu menggairahkan kejantanannya.
"Jangan cerita ke siapa-siapa ya. Saya dengan ibu sudah lama tidak jalan
lho. Nggak tahu kenapa. Tetapi melihat pemijat tetanggamu itu dan mendapat
pijatannya, sepertinya mulai agak bangkit. Suaminya sampai sekarang belum
pulang?" kata Pak Watik ketika aku menghadapnya di ruang kerja.
Pak Watik mengundangku karena
nanti malam jadwalnya dia dipijat Bu Rahmi. Tetapi menurut dia, istrinya juga
ada rencana belanja ke supermarket dan menemui salah satu koleganya pedagang
permata. Selain mengantar Bu Rahmi ke rumahnya, aku diminta bantuan menyopir mobil
untuk mengantar istrinya.
Sebagai seorang bawahan
terlebih karena kebaikannya mempercayakan sebuah proyek berdana besar kepadaku,
kusampaikan kesediaanku. Namun sebelum aku keluar dari ruangannya ia kembali
mencegah dan berbisik. "Eh Ton, kira-kira bisa nggak tukang pijat itu
memberi layanan lebih? Kamu bisa bantu atur?"
Aku paham kemana arah
pembicaraan atasanku itu. Maka seperti yang kusampaikan kepada dua temanku yang
menjadi langganan pijat Bu Rahmi, kukatakan bahwa selama ini yang kutahu ia
hanya berprofesi sebagai pemijat dan soal yang lain-lain belum tahu. Hanya
kepada Pak Watik kukatakan akan mencoba melakukan pendekatan ke Bu Rahmi.
Setelah keluar dari ruang
kerja atasanku, aku menemui Bu Rahmi. Sambil berpura-pura cemburu kuceritakan
soal ketertarikan atasanku kepadanya. Tetapi juga kuceritakan tentang kebaikan
Pak Watik termasuk kepercayaannya memberikan proyek besar di bawah
penangananku.
Bu Rahmi cerita, setiap
dipijat Pak Watik memang berusaha merayunya. Juga berusaha menggerayang ke
balik pakaian seperti temanku yang lain. "Tetapi kelihatannya punya Pak
Watik sudah sulit bangkit kok," ujar Bu Rahmi.
"Oh jadi cerita Pak Watik
soal kemampuan seksnya yang sudah berkurang itu bener?" Kataku pura-pura
kaget.
"Jadi enaknya sikapnya
gimana Pak Anto. Dia kan atasan bapak dan juga baik sama bapak," ujarnya
lagi.
Akhirnya dengan seolah-olah
sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk kuputuskan, kukatakan padanya bahwa
karena kondisi kemampuan seks atasanku tidak normal maka sebaiknya Bu Rahmi
membantunya. Saat memijat, sebaiknya tidak memakai celana dalam rangkap tiga
dan juga tidak memakai celana panjang di balik daster yang dipakai.
"Maksud saya agar Pak
Watik terangsang karena dia suka sama ibu. Memang resikonya Pak Watik jadi
leluasa menjahili ibu sih. Tetapi niatnya kan untuk membantu menyembuhkan dia.
Gimana menurut ibu?"
"Kalau itu yang terbaik
menurut Pak Anto saya sih nurut saja. Tetapi Pak Anto jangan cemburu ya,"
Bu Rahmi langsung kupeluk.
Kukatakan padanya bahwa sebenarnya aku sangat cemburu dan tidak suka tubuh Bu
Rahmi diraba dan dipegang-pegang orang lain. Tetapi demi menolong atasanku itu
dan demi membalas kebaikannya aku akan berusaha untuk tidak cemburu. "Asal
yang ini jangan diberikan semua ke Pak Watik ya bu. Saya suka banget dengan
yang ini," ujarku sambil meraba memek Bu Rahmi setelah menyingkap
dasternya.
Tadinya aku berniat melepaskan
hasratku untuk menyetubuhi tubuh montok tetanggaku itu. Tetapi setelah saling
memagut dan hendak saling melepaskan baju, kudengar anak-anak Bu Rahmi pulang
dari sekolah. Hingga kuurungkan niatku dan langsung kebur menyelinap lewat
pintu belakang.
Seperti yang kujanjikan,
sekitar pukul 17.00 kujemput Bu Rahmi dan kuantar ke rumah Pak Watik. Bu Rahmi
memakai seragam baju terusan warna putih seperti yang biasa dipakai suster
rumah sakit. Itu memang baju seragamnya saat memijat. Tetapi dari bentuk
cetakan celana dalam yang membayang di pantatnya yang besar, kuyakin ia tidak
pakai celana panjang dan celana dalam rangkap seperti biasanya. Rupanya ia
benar-benar memenuhi janjinya untuk melayani Pak Watik dengan lebih baik
seperti yang kusarankan.
Kulihat Pak Watik sedang
menyiram bunga di halaman rumahnya saat aku datang. "Eh To, silahkan
masuk. Tuh istriku udah uring-uringan karena sudah dandan dan siap berangkat,"
ujarnya mempersilahkan.
Benar Bu Watik sudah berdandan
rapi dan siap pergi. Bahkan ia langsung menyerahkan kunci kontak mobil
kepadaku. "Wah ibu takut Nak Anto telat datang. Soalnya selain belanja ibu
kan harus ke rumah Bu Ramli, jadi takut kemalaman," kata Bu Watik.
Bu Watik menyapa Bu Rahmi
ramah dan mempersilahkan masuk ke ruang tamu rumahnya. Ia meminta Bu Rahmi
menunggu karena suaminya belum mandi. Bahkan kepada Bu Rahmi juga berpesan
untuk istirahat di kamar tamu rumahnya kalau selesai memijat nanti ia belum
pulang. "Santai saja Mbak Rahmi nggak usah sungkan-sungkan. Kalau mungkin
nanti saya juga ikut dipijat," ujar Bu Watik yang langsung mengahmpiriku
yang sudah siap dengan mobil Kijang keluaran terbaru milik keluarga itu.
Usia Bu Watik mungkin sebaya
dengan Bu Rahmi. Atau boleh jadi lebih tua satu atau dua tahun. Namun dengan
pakaian stelan jas tanpa kancing yang dipadu dengan kaos warna krem di bagian
dalam serta celana panjang ketat warna hitam senada, wanita itu tampak
berwibawa.
Bau harum yang lembut dari
wangi farfumnya membaui hidungku saat ia masuk ke dalam mobil. Ia menyebut nama
sebuah suoermarket ternama hingga aku langsung menjalankan mobil perlahan.
Untung aku yang biasanya hanya memakai T shirt, tadi memutuskan memakai baju
lengan panjang meski untuk celana tetap memilih jins. Hingga tidak terlalu canggung
mengantar istri atasanku.
Ukuran dan bentuk tubuh Bu
Watik nyaris sama dengan Bu Rahmi, tinggi besar. Kakinya panjang dan kekar.
Hanya perutnya relatif lebih rata, mungkin karena rajin senam dan olahraga hingga
tubuhnya tampak lebih liat.
Awalnya pembicaraan lebih
bersifat formal. Tentang bagaimana sikap kepemimpinan suaminya di kantor dan
bagaimana penilaianku sebagai bawahan. Namun lama kelamaan perbincangan menjadi
lebih cair setelah topiknya menyangkut keluarga. "Sebentar lagi cucu saya
dua lho Nak Anto. Sebab Menik kemarin telepon katanya sudah hamil," kata
ibu beranak tiga itu.
"Kalau ngomongnya sama
orang yang tidak tahu keluarga ibu nggak akan percaya kalau ibu sudah punya
cucu,"
"Lho kok?"
"Soalnya dari penampilan
ibu, orang pasti mengira usianya belum 40 tahun. Soalnya ibu terlihat masih muda
dan energik," kataku memuji.
"Ah bisa saja Nak Anto.
Pujiannya disimpan saja deh untuk istri Nak Anto. Pasti istrinya cantik ya karena
Nak Anto kan pandai merayu,"
Lewat kaca spion, wanita yang
sehari-hari menjadi kepala sekolah di sebuah SD itu kulihat tak mampu
menyembunyikan perasaan bangganya atas pujian yang kuberikan. Seulas senyum
manis terlihat menghias wajahnya, wajah yang masih menyimpan sisa-sisa
kecantikan di usianya yang sudah lebih dari setengah abad.
Melihat Bu Watik aku jadi
ingat Bu Rahmi. Wanita itu pasti lagi sibuk memijat tubuh atasanku. Atau boleh
jadi sambil memijat ia jadi terangsang karena tangan Pak Watik yang
menggerayang ke paha dan selangkangan atau di memeknya yang kini hanya dibalut
satu buah celana dalam.
Membayangkan semua itu aku
kembali melirik Bu Watik yang ada di sebelahku. Perbedaan Bu Rahmi dengan Bu
Watik mungkin hanya pada warna kulitnya. Kulit Bu Rahmi lebih terang dan Bu
Watik agak gelap. Kalau teteknya, aku berani bertaruh payudara istri atasanku
ini juga cukup besar ukurannya. Meski tertutup jas hitam dan kaos krem yang
dipakainya, tonjolan yang dibentuknya tak bisa disembunyikan.
Di luar itu, yang pasti Bu
Watik lebih wangi dan boleh jadi tubuhnya lebih terawat. Sebab ia memiliki
kemampuan keuangan yang memadai untuk merawat tubuh dan membeli parfum mahal.
Tetapi begitulah hidup, rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau dibanding
rumput di halaman sendiri.
"Sudah berapa lama ya Pak
Watik tidak menyentuh wanita berwajah manis ini? Ah aku juga mau kalau diberi
kesempatan," ujarku membathin sambil melirik bentuk kakinya yang panjang
dan tampak indah dibalut celana hitam ketat.
Gara-gara terus-menerus
melirik Bu Watik, mobil yang kubawa nyaris menabrak becak. Untung Bu Watik
mengingatkan hingga aku bisa sigap menghindar. "Makanya jangan meleng!
Kenapa sih, sepertinya Nak Anto ngelihatin ibu terus deh,"
"Ee.. ee.. anu.. eee ibu
cantik banget sih," jawabku sekenanya.
"Hush... orang sudah
nenek-nenek dibilang cantik,"
Tanpa terasa mobil akhirnya
memasuki pelataran parkir supermarket yang dituju. Tadinya aku berniat menunggu
di tempat parkir sementara istri atasanku itu berbelanja. Tetapi Bu Watik
memintaku menemani masuk ke supermarket. Bahkan ia menggamit lenganku sambil
berjalan di sisiku layaknya seorang istri pada suami.
Sebagai anak buah dari
suaminya, sebenarnya aku agak canggung. Tetapi karena Bu Watik terkesan sangat
santai, aku pun akhirnya bisa bersikap wajar. Bahkan setelah berkali-kali tanpa
disengaja lenganku menekan buah dada Bu Watik yang kelewat merapat saat
berjalan, aku mulai nekad mengisenginya. Sambil berjalan, siku lengan kiriku
sengaja kutekan ke teteknya hingga kurasakan kelembutan buah dadanya.
Entah tidak tahu ulah isengku
atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu, Bu Watik bukannya menghindar dari siku
lenganku yang 'nakal'. Sambil terus melangkah di sisiku untuk melihat-lihat
barang-barang di supermarket posisi tubuhnya malah kian merapat. Akibatnya
tonjolan buah dadanya kurasakan ikut menekan lenganku. Aku juga mulai bisa
memperkirakan seberapa besar tetek istri atasanku itu.
Sebenarnya aku kurang begitu
suka mengaantar istri berbelanja. Sebab biasanya, istriku suka berlama-lama
khususnya ketika berada counter pakaian. Begitu pun Bu Watik, hampir setiap
baju dan gaun wanita yang menarik hatinya selalu didekati dan beberapa diantaranya
dicobanya di kamar pas.
Namun aku yang biasanya jenuh
dan menjadi bersungut-sungut, kali ini malah menikmatinya. Sebab sambil
menunggu wanita itu memilih baju-baju yang hendak dibelinya, aku jadi punya
banyak kesempatan untuk melihat bentuk tubuh istri atasanku itu. Saat kuamati
dari belakang, wanita yang usianya sudah kepala lima itu ternyata masih lumayan
seksi.
Dalam balutan celana ketat
yang dipakainya, pinggul dan pantat Bu Watik benar-benar aduhai. Apalagi celana
dalam yang dipakainya jadi tercetak sempurna karena ketatnya celana warna hitam
yang dikenakan. Aku terus melirik dan mencari kesempatan untuk menatapnya saat
Bu Watik membungkuk atau memilih-milih pakaian yang menjadikan posisi pantatnya
menonjol.
Saat hendak mencoba baju yang
diminatinya di kamar pas, Bu Watik menitipkan tasnya padaku sambil meminta
berada tak jauh dari lokasi kamar pas. Lagi-lagi goyangan pinggul dan pantat
besarnya menggoda mataku saat ia melangkah. Pikiranku jadi menerawang
membayangkan Bu Rahmi. Ada perasaan cemburu karena kuyakin Pak Watik lagi
berusaha merayu atau malah sudah berhasil menaklukkan Bu Rahmi dan tengah menikmati
kemontokkan tubuh wanita itu. Ah andai Bu Watik bisa kurayu atau membutuhkan layanan
seksku, ujarku membathin.
Aku merasakan adanya peluang
untuk itu ketika kudengar Bu Watik memanggilku dari kamar pas. Dengan tergesa
aku menuju ke kamar pas yang letaknya agak terpencil dan tertutup oleh display
aneka pakaian di supermarket tersebut. Namun di lokasi itu, istri atasanku tak
kunjung keluar dan menyampaikan maksudnya memanggilku hingga aku nekad
melongokkan kepala dengan menyibak tirai kamar pas.
Ternyata, di kamar pas Bu
Watik dalam keadaan setengah telanjang. Karena setelah mencoba baju dan celana
yang hendak dibelinya ia belum memakai pakaiannya lagi. Hanya BH dan celana
dalam krem yang menutup tubuhnya. Maka yang semula hanya bisa kubayangkan kini
benar-benar terpampang di hadapanku.
Wanita yang usianya tidak muda
lagi itu, benar-benar masih menggoda hasratku. Teteknya nampak agak kendur,
tetapi besar dan bentuknya masih bagus. Pahanya mulus tanpa cela. Hanya
meskipun perutnya tidak membuncit seperti perut Bu Rahmi, namun terlihat
bergelombang dan ada beberapa kerutan. Maklum karena faktor usia. Sedangkan
gundukkan di selangkangannya benar-benar membuatku terpana, besar dan membukit.
Bisa kubayangkan montoknya memek Bu Watik dari apa yang tampak oleh cetakan
pada celana dalam yang membungkusnya.
Dan anehnya kendati tahu akan
kehadiranku, ia tak merasa jengah atau mencoba menutupi ketelanjangannya.
Bahkan meskipun mataku terbelalak dan terang-terangan menjilati
ketelanjangannya. "Ih kayak yang nggak pernah lihat perempuan telanjang
saja. Nak tolong ke sales untuk bajunya ganti nomor yang lebih besar sedikit.
Yang ini kekecilan," ujarnya tetap santai.
Saat kembali seusai menukar
baju pada sales, Bu Watik memang telah memakai kembali celana panjang warna
hitamnya. Tetapi di bagian atas tetap terbuka. Bahkan tanpa menyuruhku pergi,
ia segera memakai pakaian yang kusodorkan untuk dicobanya dihadapanku.
"Menurut Nak Anto, ibu pantes nggak pakai pakaian model seperti ini,"
ujarnya meminta komentarku.
"Ee.. ee bagus. Seksi
banget,"
"Hus dimintai pendapat
kok seksi.. seksi. Seksi apaan sih,"
"Ee maksud saya dengan
pakaian itu ibu terlihat makin cantik dan seksi," kataku yang tidak
berkedip menikmati kemewahan buah dadanya.
Entah karena pujianku atau
menganggap baju itu memang sesuai seleranya, Bu Watik akhirnya memutuskan
membelinya di samping beberapa stel pakain lainnya. Hanya ketika aku menemani
di counter pakaian dalam dan ia memilih-milih BH nomor 36B, sambil berbisik
kuingatkan bahwa nomor itu terlalu kekecilan dipakai olehnya.
"Ih sok tahu,"
ujarnya lirih.
"Kan tadi sudah dikasih
lihat sama ibu,"
Bu Watik mencubit pinggangku.
Tetapi tidak sakit karena cubitan mesra dan gemas. Kalau bukan ditempat
keramaian, rasanya aku sudah cukup punya keberanian untuk memeluk atau mencium
istri atasanku itu. Karenanya setelah membayar semua yang dibelinya, saat
keluar dari supermarket lengannya kugamit untuk meyakinkannya bahwa aku pun
tertarik padanya.
Seperti tujuannya semula,
setelah dari supermarket Bu Watik berniat ke rumah temannya untuk urusan
pembelian perhiasan. Tetapi menurutnya ia agak lapar dan ingin menu ikan bakar.
Maka seperti yang dimintanya, mobil pun meluncur ke kawasan pantai di mana
terdapat rumah makan yang berbentuk saung-saung terpisah dan tersebar dan khusus
menjual aneka menu seafood.
Setelah memesan beberapa menu
dan minuman, kami menuju ke salah satu saung paling terpencil dan tertutup
rimbun pepohonan. Tadinya Bu Watik memprotes karena menurutnya tempatnya
terlalu gelap dan terpencil. Tetapi saat tanganku melingkar ke pinggangnya dan
kukatankan bahwa lebih gelap lebih asyik, protesnya yang boleh jadi cuma
pura-pura segera berhenti dan hanya sebuah cubitan darinya sebagai jawabannya.
Dari pinggangnya tangaku
meliar turun merayap di pantatnya. Dari luar celana ketat yang dipakainya,
pantat besarnya kuraba. Bokongnya yang lebar masih lumayan padat, hanya agak
sedikit turun. Dengan gemas kuusap-usap dan kuremas pantat Bu Watik. Lagi-lagi
ia tidak menolak dan bahkan kian merapatkan tubuhnya. Maka setelah di dalam
saung, ia langsung kupeluk dan kulumat bibirnya.
Sejenak ia tidak bereaksi.
Hanya diam membiarkan lidahku bermain di rongga mulutnya. Namun setelah
tanganku merayap di selangkangannya dan menelusup masuk ke dalamnya melalui
risleting celananya yang telah kuturunkan, pagutanku di mulutnya mulai
mendapatkan perlawanan. Bibir dan lidah Bu Watik ikut aktif melumat dan
memainkan lidahnya.
Memek istri atasanku itu tak
cuma tebal, tapi juga lebar dan membusung. Itu kurasakan saat telapak tanganku
mengusap dari luar celana dalam yang dipakainya. Tetapi nampaknya tak berambut.
Permukannya terasa agak kasar karena munculnya rambut-rambut yang baru tumbuh.
Sepertinya ia baru mencukur bulu-bulu jembutnya itu.
Namun saat aku hendak lebih
memelorotkan celana panjangnya agar leluasa meraba dan mengusap memeknya Bu
Watik mencegah. "Jangan Nak Anto, nanti ada orang. Kan pelayan belum ke
sini buat nganterin pesanan makanan kita," sergahya.
"Ii... ii.. iya Bu,"
Benar juga, ujarku membathin.
Aku terpaksa menahan diri untuk tidak meneruskan niatku memelorotkan celana
panjang yang dipakai Bu Watik. Hanya usapan dan rabaanku di busungan memeknya
tak kuhentikan. Bahkan sesekali aku meremasnya dengan gemas karena keinginan
untuk memasukkan jariku ke lubang nikmatnya tak kesampaian.
Diobok-obok di bagian tubuhnya
yang paling peka, kendati masih di luar celana dalamnya, Bu Watik mendesah.
Pelukannya semakin ketat dan lumatannya di bibirku makin menjadi. Rupanya
wanita yang usianya sudah di atas kepala lima itu mulai terbangkitkan
hasratnya.
Aku dan Bu Watik baru
melepaskan pelukan dan segera berbenah setelah dari jauh kulihat dua pelayan
wanita membawa nampan berisi makanan dan minuman yang kami pesan. Selembar uang
pecahan Rp 20 ribu kusisipkan di nampan salah satu pelayan perempuan setelah
mereka selesai menghidangkan yang kami pesan. "Terima kasih dan selamat
menikmati," kata keduanya sambil melemparkan senyum dan beranjak
meninggalkan saung yang kami tempati.
Tetapi bukannya makanan yang
terhidang yang kuserbu setelah kedua pelayan meninggalkan saung. Dari arah
belakang kudekati dan kupeluk Bu Watik yang duduk di tikar saung yang
menyajikan makanan secera lesehan itu.
"Tidak makan dulu Nak
Anto?" ujar Bu Watik.
Tetapi aku tak peduli pada apa
yang dikatakan istri atasanku itu. Hasrtaku lebih besar untuk segera menikmati
kehangatan tubuhnya ketimbang makanan yang tersaji. Hingga setelah membenamkan
wajahku ke keharuman rambutnya, tanganku langsung meliar, Meremasi teteknya
dari luar t shirt warna krem yang dipakai dibalik jaketnya yang tak terkancing.
Seperti tetek Bu Rahmi, susu
Bu Watik juga sudah agak kendur. Tapi dari segi ukuran, nampaknya tak jauh
beda. Besar dan empuk, entah bentuk putingnya. Sambil kuciumi tengkuk dan
lehernya, tanganku merayap ke balik t shirt yang dipakainya. Kembali aku
meremas teteknya dan kali ini langsung dari BH yang membungkusnya. Kelembutan
buah dada Bu Watik baru benar-benar dapat kurasakan setelah aku berhasil merogoh
dan mengelurkannya dari BH.
Bu Watik mulai menggelinjang
dan mendesah saat aku meremas-remas teteknya perlahan dan memainkan
puting-putingnya. Ia menyandarkan tubuh ke dadaku seakan memasrahkan tubuhnya
padaku. "Sshhh....aaahhh..... sshhh....aahhh... ibu sudah lama tidak begini
Nak Anto," ujarnya mendesah.
"Lho kan ada Pak
Watik," kataku menyelidik.
"Dia jarang mau diajak dan
sudah sulit bangun itunya,"
Meski sudah mendengar langsung
dari Pak Watik aku agak kaget karena ternyata cerita atasanku itu benar adanya.
Pantesan Bu Watik merasa tidak ada masalah meninggalkan suaminya dipijat wanita
lain berdua di rumahnya.
Ternyata wanita yang ada dalam
pelukanku ini sudah lama tidak dijamah suaminya. Membayangkan itu aku makin
terangsang. Jas hitam yang dipakai Bu Watik kulepas dari tubuhnya. Namun saat
hendak kulepas kaos krem yang dikenakan dibalik jaket, wanita istri atasanku
itu mencegah. "Takut nanti ada yang ke sini Nak Anto," ujarnya.
Meski aku telah membujuknya
bahwa tak mungkin ada pelayan yang datang kecuali tombol bel yang ada ditekan
untuk memanggil, Bu Watik tetap menolak. Menurutnya ia tetap merasa was-was
karena berada di ruang terbuka. "Kalau celana dalam ibu saja yang dibuka
nggak apa-apa," katanya akhirnya.
Agak kecewa sebenarnya karena
aku ingin melihat tubuh istri atasanku dalam keadaa bugil. Tetapi membuka
celana berarti memberiku kesempatan melihat memeknya. Bagian yang paling ingin
kulihat pada tubuh Bu Watik karena saat di kamar pas supermarket, bagian
membusung di selangkangannya itu masih tertutup celana dalam.
Tanpa membuang kesempatan,
segera kubaringkan Bu Watik di lantai saung yang beralaskan tikar itu. Kubuka
kancing celana hitam yang dipakai dan kutarik risletingnya. Kini kembali
kulihat gundukan memeknya yang masih dibungkus celana dalam krem. Aku
menyempatkan membelai memek istri atasanku itu dari luar celana dalamnya
sebelum menarik dan memelorotkan celana panjangnya. Benar-benar tebal, besar
dan masih cukup liat.
Aku makin terpana setelah
memelorotkan celana dalamnya dan membuat tubuh bagian bawah Bu Watik
benar-benar bugil. Memeknya benar-benar nyempluk, membusung dan tanpa rambut.
Kalau dibiarkan tumbuh mungkin jembut di memek Bu Rahmi masih kalah lebat.
Namun Bu Watik rupanya lebih senang mencukurnya, hingga nampak gundul dan
polos.
Memek tembemnya itu terasa
hangat saat aku menyentuh dan membelainya. Tetapi sekaligus terasa kasar karena
bulu-bulu jembutnya mulai tumbuh. Aku yang menjadi makin terangsang dan tak
sabar untuk melihat itilnya, segera membuka posisi kaki Bu Watik yang masih
merapat.
Ah lubang memeknya ternyata
sudah lebar, menganga diantara bibir kemaluannya yang tebal dan berkerut-kerut.
Bibir kemaluannya coklat kehitaman. Tetapi itilnya yang mencuat menonjol di
bagian atas celah memeknya nampak kemerahan. Aku tak lagi bisa menahan diri.
Langsung kukecup memeknya dengan mulutku. Memek Bu Watik ternyata sangat
terawat dan tidak berbau. Ia mendesah dan makin melebarkan kangkangan pahanya
saat lidahku mulai menyapu seputar bibir luar vaginanya.
Lidahku terus menjelajah,
melata dan merayap seolah hendak melumasi seluruh permukaan tepian labia
mayoranya. Bahkan dengan gemas sesekali bibir vaginanya yang telah menggelambir
kucerucupi. Membuat Bu Watik mendesis mengangkat pantat menahan nikmat.
"Aakkhhh... sshhh... shhh... aahhh.... ookkhhh.... ssshhhh," rintih
wanita itu mengikuti setiap sapuan lidah dan cerucupan mulutku di memeknya.
Sambil mendesis dan mendesah,
kulihat Bu Watik meremasi sendiri susunya dari luar kaos warna krem yang
dipakainya. Rupanya ia sangat menikmati sentuhan awal oral seks yang kuberikan.
Aku yang memang berniat memberi kesan mendalam pada persetubuhan pertama dengan
istri atasanku itu, segera meningkatkan serangan. Dengan dua tanganku bibir
memeknya kusibak hingga terlihat lubang bagian dalam kemaluannya. Lubang yang
sudah cukup lebar dan terlihat basah.
Ke celah lubang nikmat itulah
lidahku kujulurkan. Terasa asin saat ujung lidahku mulai memasuki lorong
kenikmatannya dan menyentuh cairan yang keluar membasah. Aku tak peduli. Ujung
lidahku terus terulur masuk menjelajah ke kedalaman yang bisa dijangkau. Bahkan
di kedalaman yang makin pekat oleh cairan memeknya, lidahku meliar. Melata dan
menyodok-nyodok. Akibatnya Bu Watik tak hanya merintih dan mendesah tapi mulai
mengerang.
"Aahhkkkhhh....
aaahhh.... oookkkhhhh... enak banget Nak Anto. Oookkh.. terus.. Nak, aaakkkhhhhh,"
erangnya kian menjadi.
Bahkan ketika lidahku menjilat
itilnya, tubuh istri atasanku itu mengejang. Ia mengangkat tinggi-tinggi
pinggulnya. Seolah menjemput lidahku agar lebih dalam menggesek dan mendesak ke
kelentitnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menempatkan kedua tanganku untuk
menangkup dan menyangga pantatnya. Dan sambil terus menjilati itilnya
kubenamkan wajahku di permukaan memeknya sambil menekan dan meremas-remas
pantatnya.
Kenikmatan tak tertahan yang
dirasakan Bu Watik akibat jilatan-jilatan di kelentitnya membuat gairah wanita
itu makin memuncak. Kakinya mengelonjot dan menyepak-nyepak sambil erangannya
makin menjadi. Bahkan kepalaku dijambaknya. "Ahh.. ahhh.. ooohh
....aaaauuuhhhhh.... enak.. sshhh.... sshhh.... aahhh enak banget. Ibu nggak tahan
Nak Anto, aaahhh.... aahhhh," sesekali tangannya berusaha menjauhkan
kepalaku dari memeknya.
Tetapi aku tak peduli. Jilatan
lidahku di itilnya bukannya kuhentikan tetapi makin kutingkatkan. Bahkan dengan
gemas, bagian paling peka di kemaluannya itu kucerucupi dan kuhisap-hisap.
Akibatnya ia tak mampu bertahan lebih lama. Pertahanannya jebol. Kedua pahanya
yang kekar menjepit kencang kepalaku dan menekan hebat hingga wajahku benar-benar
membenam di memeknya.
Berbarengan dengan itu ia
memekik dan mengerang kencang namun tertahan. Cairan kental yang terasa hangat
juga kurasakan menyemprot mulutku uang masih menghisap itilnya. Saat itulah aku
tahu Bu Watik baru saja mencapai puncak kenikmatannya. Rupanya, upayaku untuk
membuatnya orgasme tanpa mencoblos memeknya dengan kontolku berhasil.
Setelah beberapa lama, nafas
Bu Watik yang sempat memburu berangsur pulih seiring dengan mengendurnya
jepitan paha wanita itu di kepalaku. Hanya ia tetap terbaring. Mungkin
tenaganya terkuras setelah puncak kenikmatan yang didapatnya. Kesempatan itu
kugunakan untuk menyeka dan membersihkan mulutku memakai serbet makan yang
tersedia bersama sejumlah menu makanan yang belum sempat kami sentuh.
Aku baru saja menenggak habis
segelas teh manis hangat yang sudah diingin saat Bu Watik menggeliat dan
terbangun. Kulihat ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat manis. Mungkin
sebagai ungkapan terima kasih atas yang baru kuberikan dan sudah lama tidak
diperoleh lagi dari suaminya. "Nak Anto sudah lapar? Kalau lapar makan
dulu deh," ujarnya.
"Saya sudah kenyang kok
Bu," jawabku.
"Kenyang apa, wong baru
minum teh saja kok,"
"Bukan kenyang karena
makanan. Tetapi karena menjilati memek ibu yang mantep banget," candaku
sambil menatapi busungan memeknya.
"Ih dasar. Ibu
bener-bener nggak tahan lho Nak Anto. Soalnya sudah lama banget nggak dapat
yang seperti tadi," ujarnya tersipu.
Rupanya ia juga baru sadar
bahwa bagian bawah tubuhnya masih telanjang. Celana dalam warna krem miliknya
yang teronggok segera diambil dan Bu Watik berniat untuk memakainya. Namun aku
langsung mencegah. Kurebut dari tangannya dan kulempar agak jauh darinya.
"Jangan ditutup dulu dong Bu. Saya masih belum puas lihat punya ibu,"
kataku sambil mengusap memeknya.
"Nak Anto tidak pengin
makan dulu?"
"Nanti saja ah. Perut
saya sih belum lapar. Tapi kalau yang ini sudah lapar sejak tadi," ujarku
sambil menurunkan risleting celanaku dan mengeluarkan isinya dari celana dalam
yang kupelorotkan.
Kontolku keras dan tegak
mengacung sempurna. Urat-uratnya terlihat menonjol melingkari sekujur batangnya
yang hitam dan berukuran lumayan besar. Bu Watik tampak terpana melihatnya.
"Punya saya hitam dan jelek ya Bu," kataku memancing.
"Bukan.. bukan karena
itu. Tapi ukurannya.. kok gede banget,"
"Masa? Tapi ibu suka sama
yang gede kan?" Kataku sambil merubah posisi duduk menggeserkan bagian
bawah tubuhku mendekat ke istri atasanku. Aku berharap ia tak hanya menatap
senjataku tapi mau mengelusnya atau bahkan mengulumnya. Sementara tanganku
tetap merabai dan mengusap-usap memeknya yang tebal.
Bu Watik ternyata cepat
tanggap dan mengerti apa yang kuinginkan. Batang zakarku digenggamnya. Tetapi
ia hanya mengelus dan seperti mengamati. Mungkin ia tengah membandingkan
senjata milikku dengan kepunyaan suaminya. "Beda dengan milik bapak ya bu.
Punya saya memang sudah hitam dari sananya kok," candaku lagi.
"Ih.. bukan begitu. Punya
Nak Anto ukurannya nggilani. Kayaknya marem banget," ujarnya tersenyum. Wajahnya
tampak dipenuhi nafsu.
Akhirnya, Bu Watik benar-benar
melakukan seperti yang kuharapkan. Setelah mengecu-ngecup topi baja kontolku,
ia mulai memasukkan ke dalam mulutnya. Awalnya cuma sebagian yang dikulumnya.
Selanjutnya, seluruh batang zakarku seperti hendak ditelannya. Mulutnya
terlihat penuh karena berusaha memasukkan seluruh bagian tonggak daging milikku
yang lumayan besar dan panjang.
Wanita istri atasanku itu
ternyata cukup pandai dalam urusan kulum-mengulum. Setelah seluruh bagian
batang kontolku masuk ke mulut, ia menghisap sambil menarik perlahan kepalanya.
Begitu ia melakukannya berulang-ulang. Aku mendesah oleh kenikmatan yang
diberikan. "Oookkhhh... sshhh.... oookkkhhhhh.... enak banget...
aakkkkhhhh.... terusss.... aaakkkkkhhhhhh," desisku.
Sambil terus melumati batang
kontolku, tangan Bu Watik juga menggerayang dan memainkan biji-biji pelir
milikku. Kalau bukan di rumah makan mungkin aku sudah mengerang dan melolong
oleh sensasi dan kenikmatan yang diberikan. Sebisaku aku berusaha menahan agar
tidak sampai rintihanku terdengar orang lain.
Untuk melampiaskannya, aku
mulai ambil bagian dalam permainan pemanasan yang dilakukannya. Aku harus bisa
mengimbangi permainan Bu Watik. Kedua pahanya kembali kukangkangkan dan wajahku
kembali kubenamkan di selangkangannya. Bu Watik sebenarnya belum sempat mencuci
memeknya setelah lendir kenikmatannya keluar saat orgasme sebelumnya. Tetapi
aku tak peduli. Memek wanita yang sudah dipanggil nenek itu kucerucupi.
Bahkan jilatan lidahku tidak
hanya menyapu bagian dalam lubang memek dan kelentitnya. Tetapi juga melata di
sepanjang alur liang nikmatnya yang menganga namun juga ke tepian lubang
duburnya. Saat aku menjilat-jilat tepian lubang anusnya Bu Watik menggerinjal
dan memekik tertahan. Mungkin kaget karena tak menyangka lidahku bakal
menjangkau bagian yang oleh sementara orang dianggap kotor.
Tetapi itu hanya sesaat.
Setelah itu ia kembali melumati dan menghisapi batang kontolku sambil
mendesah-desah nikmat. Karenanya aku makin fokus dan makin sering kurahkan
jilatan lidahku ke lubang duburnya sambil sesekali meremasi bongkahan pantat besarnya.
Pertahananku nyaris jebol saat
mulut Bu Watik mulai mencerucupi biji pelir kontolku. Untung Bu Watik mengambil
insiatif menyudahi permainan pemanasan itu. Ia memintaku segera memasukkan
rudalku ke liang sanggamanya. "Ahhh... sudah dulu ya. Sudah nggak kuat
pengin merasakan batang Nak Anto yang gede ini nih," kata Bu Watik seraya
melepaskan batang kontolu dari genggamannya.
"Ii.. iiya bu, saya juga
sudah pengin banget merasakan memek ibu,"
Aku mengambil ancang-ancang di
antara paha Bu Watik yang mengangkang lebar. Lubang bagian dalam kemaluannya
yang menganga terlihat kemerahan . Sepertinya lubang nikmat Bu Watik telah
menunggu untuk disogok. Memang sudah lama tidak ditengok karena kemaluan
suaminya yang mulai loyo. Kepala penisku yang membonggol sengaja kuusap-usapkan
di bibir luar memeknya yang sudah amburadul bentuknya. Bahkan ada sebentuk
daging mirip jengger ayam yang menjulur keluar. Entah apa namanya karena aku
baru melihatnya.
Bu Watik mendesah saat ujung
penisku menyentuh bibir kemaluannya. Meski nafsuku kian membuncah melihat memek
tembemnya yang menggairahkan, aku berusaha menahan diri. Bahkan ujung topi baja
rudalku hanya kumainkan untuk menggesek dan mendorong gelambir daging mirip
jengger ayam di memek Bu Watik. Sedikit menekannya masuk dan menariknya
kembali.
Akibatnya Bu Watik merintih
dan memintaku untuk segera menuntaskan permainan. "Ayo Nak Anto... jangan
siksa ibu. Masukkan kontolmu.. ssshhh... aahh... sshh ahhh ayo nak,"
Blleeessseeekkk... akhirnya
batang kontolku kutekan dan benar-benar masuk ke lubang memeknya. Karena sudah
lumayan longgar dan banyaknya pelicin yang membasah di lubang memeknya, batang
kontolku tidak mengalami hambatan berarti saat memasukinya. Bagian dalam lubang
Memek Bu Watik terasa hangat dan sangat becek.
Setelah batang zakarku
benar-benar membenam di kehangatan liang sanggamanya, kurebahkan tubuhku untuk
menindih tubuh montoknya. Bibir istri atasanku yang merekah perlahan kukecup
dan akhirnya kulumat. Saat itulah sambil terus mengulum dan melumati bibirnya,
mulai kuayun pinggulku dan menjadikan batang kontolku keluar masuk di lubang
memeknya.
Bu Watik juga mulai
mengimbanginya. Tak kalah hot, lidahku yang menyapu rongga bagian dalam
mulutnya sesekali dihisap-hisapnya. Bahkan ia mulai menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Aku baru mulai merasakan kelebihan yang dimiliki Bu Watik. Bukan
cuma tubuhnya yang matang akibat usia senja namun masih menggairahkan. Tetapi
kerja otot bagian dalam memeknya juga lebih terasa. Berdenyut dan seperti
memerah batang kontolku.
Kini giliran aku yang
dibuatnya mengerang. Nampaknya istri atasanku telah benar-benar matang dalam
hal urusan ranjang. Untuk melampiaskannya, kuremas gemas teteknya yang besar
dari luar kaos yang dipakainya. Bahkan karena kurang puas, kaosnya kusingkap
dan sepasang payudaranya kurogoh dan kutarik keluar dari kutangnya.
Pentil-pentil teteknya yang berwarna coklat kehitaman kupelintir dan
kumain-mainkan dengan jariku.
Blep... blep.... blep...
begitu suara yang kudengar setiap kali ayunan pinggulku menyentuh selangkangan
Bu Watik. Di samping bunyi kecipak karena lendir yang kian membanjir di liang
sanggamanya. "Sshhh... ssshh ...aahh .... aahh terus nak.. aahh enak
banget. Kontolmu enak bangat Nak Anto,"
"Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,"
Bu Watik tersenyum. Wajahnya kian memerah. Kembali kulumat bibirnya sambil tak lepas tanganku menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan tangan Bu Watik mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan kursakan tempo goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai mendekat ke puncak gairahnya.
"Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,"
Bu Watik tersenyum. Wajahnya kian memerah. Kembali kulumat bibirnya sambil tak lepas tanganku menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan tangan Bu Watik mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan kursakan tempo goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai mendekat ke puncak gairahnya.
Aku yang juga mulai kehilangan
daya tahan segera mengimbanginya. Berkali kontolku kutikamkan ke lubang
memeknya dengan tekanan yang lebih kencang dan lebih bertenaga. Bu Watik
memekik dan mengerang. "Aaauuww... aaakhhh ,,,, aakkkhhh enak banget...
aaakhhh.... terus... sayang .... aaaakhhh ... ya.... aaakhhh memek ibu enak
bangat disogok begini... aaaaakkkkhhhh .... sshhhh... sshhh... aaahhhhh,"
rintihan dan suara Bu Watik makin tak terkontrol.
Aku jadi makin terpacu. Bukan
cuma mulutnya yang kucium. Tapi ujung hidungnya yang bangir dan dahinya juga
kucerucupi dengan mulutku. Bahkan lidahku menjelajah ke lehernya dan terus
melata. Lubang telinga Bu Watik juga tak luput dari jilatan lidahku setelah
menyibak rambutnya.
Tubuh Bu Watik kian mengejang.
Kedua kakinya yang kekar dan panjang membelit pinggangku dan menekannya. Kedua
tangannya memeluk erat tubuhku. Rupanya ia hampir sampai di garis batas
kenikmatannya. Aku yang juga sudah mendekati puncak gairah makin meningkatkan
tikaman- tikaman bertenaga pada lubang sanggamanya.
Akhirnya gairah Bu Watik
benar-benar tertuntaskan. Cairan yang menyembur di lubang memeknya dan
cengkereman kuku-kukunya di punggungku menjadi pertanda kalau ia sudah
mendapatkan orgasmenya. Tetapi aku terus mengayun. Kocokan batang kontolku di
lubang memeknya yang makin banjir tak kuhentikan. Bahkan makin kutingkatkan
karena kenikmatan yang kian tak tertahan.
Puncaknya, Bu Watik kembali
mencengkeram pantatku. Kali ini dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan agar
pinggulku tidak dapat bergerak dan kontolku tetap membenam di lubang memeknya.
Saat itulah, otot-otot bagian dalam vaginanya terasa mencengkeram bagitu hebat
dan bergelombang. Serasa memerah dengan kuatnya. Aku merintih dan melolong
panjang. Pertahanku menjadi jebol dan maniku menyemprot sangat banyak gua
kenikmatan istri atasanku. Bersama peluh membanjir, tubuhku ambruk di atas
tubuh montok Bu Watik dengan nafas memburu.
"Nanti ikan bakar dan
kepiting saos tomatnya minta dibungkus saja Nak Anto. Sayang kalau tidak
dimakan. Tapi jangan lupa piring-piringnya dibuat kotor dengan masi dan lauk
yang lain, hingga sepertinya kita sudah benar-benar makan," kata Bu Watik
setelah merapikan kembali baju yang dipakainya.
Kami meninggalkan rumah makan
saung di pinggir pantai setelah membayar di kasir dan meninggalkan lembaran dua
puluh ribu rupiah sebagai tip kepada petugas yang membereskan serta
membungkuskan makanan yang memang tidak kami makan. Dari spion, wajah Bu Watik
kulihat sangat cerah. Pasti karena kenikmatan yang baru direguknya serta
nafsunya yang lama tertahan telah tersalurkan.
"Apa lihat-lihat. Wanita
sudah tua kok masih diajak ngentot," kata Bu Watik yang memergoki ulah
mencuri-curi pandang ke arahnya lewat spion. Tetapi perkataannya itu bukan karena
marah.
"Usia boleh saja sudah
kepala lima. Tetapi wajah ibu masih cantik dan tubuh ibu masih sangat
merangsang. Mau deh tiap malam dikelonin ibu," ujarku menggoda.
"Bener tuh,"
"Sungguh Bu. Saya bisa
ketagihan deh oleh empotan memek ibu yang dahsyat tadi,'
"Ibu juga suka sama
batang Nak Anto. Besar dan panjang. Kalau mau kapan-kapan kita bisa mengulang.
Kalau ada kesempatan nanti saya SMS," ujar Bu Watik.
Aku sangat senang karena sudah
mendapat peluang untuk terus bisa menyetubuhinya. Tangan Bu Watik kuraih dan
kugenggam. Bahkan sempat meremas susunya sambil mengendalikan kemudi. Hanya Bu
Watik mengingatkan bahwa ulahku bisa menyebabkan kecelakaan hingga aku kembali
berkosentrasi pada setir mobil yang kukendarai. Ah, memek wanita tua ternyata
masih sangat nikmat.
Sampai di rumah Pak Watik
sudah tidur di kamarnya. Sedang Bu Rahmi, terlihat berbincang dengan Yu Sarti,
pembantu di rumah itu. Setelah berbincang sebentar, aku dan Bu Rahmi pamit
pulang. Hanya sebelumnya Bu Watik memberikan bungkusan lauk yang belum sempat
kami makan sewaktu di rumah makan. "Buat oleh-olah anak di rumah Bu,"
kata Bu Watik.
Di jalan, saat membonceng
sepeda motor dan kutanya tentang ulah Pak Watik, Bu Rahmi cerita bahwa atasanku
itu benar-benar genit. Selama dipijat, kata Bu Rahmi, ia terus merayu dan
berusaha menggerayangi. "Tapi tidak saya ladeni lho Pak Anto," ujar
Bu Rahmi meyakinkanku.
"Pasti Pak Watik maksa
untuk bisa megang memek ibu kan? Soalnya dia kemarin bilang pengin banget lihat
punya ibu,"
"Iya sih tapi hanya pegang.
Dan karena terus maksa akhirnya ibu kocok," ungkap Bu Rahmi jujur.
Aku tertawa dalam hati.
Sementara suaminya hanya bisa meraba memek wanita lain dan dipuaskan dengan
dikocok, istrinya malah sampai orgasme dua kali disogok penis laki-laki lain.
Bahkan istrinya berjanji untuk mengontak agar bisa mengulang kenikmatan yang
telah kami lakukan.
Sampai di rumah anak-anak Bu
Rahmi sudah tidur. Dan mungkin karena terangsang gara-gara memeknya digerayangi
Pak Watik, Bu Rahmi memaksaku untuk singgah di rumahnya. Untuk menolak rasanya
kurang enak. Karena biasanya aku yang sering memintanya untuk melayaniku.
Rupanya nafsu Bu Rahmi sudah
benar-benar tinggi. Di kamarnya, saat ia mulai mengulum batang kontolku dan
tanganku menggerayang ke selangkangannya, memeknya sudah basah. Bahkan saat
tangaku mulai mencolok-colok lubang nikmatnya, Bu Rahmi kelabakan. Memintaku
untuk segera menuntaskan hasratnya.
Tetapi aku berusaha bertahan.
"Punya saya belum terlalu keras Bu. Nanti kurang enak. Kalau ibu
menjilatnya di sini, pesti cepat kerasnya," kataku sambil mengangkat dan
memperlihatkan lubang anusku," kataku.
Sebenarnya, kontolku kurang
keras karena sebelumnya telah dipakai melayani Bu Watik di rumah makan. Namun
keinginan untuk dijilati di bagian anus, mendapat tanggapan serius Bu Rahmi. Ia
langsung berjongkok di tepi ranjang dan berada selangkanganku. Dan tanpa ragu
atau merasa jijik, langsung menjulurkan lidahnya untuk menyapu biji pelirku dan
diteruskan dengan menjilat-jilat lubang duburku. Rasanya geli-geli nikmat dan membuat
tubuhku merinding.
Akibatnya aku dibuat
kelojotan. Dibuai kenikmatan yang diberikan Bu Rahmi. Terlebih ketika ia mulai
mencucuk-cucukkan lidahnya ke lubang duburku. "Aaakkhhhhh... aakkhh.. enak
banget .... oookkh enak banget. Saya suka suka banget ngewe sama ibu. Oookkkh
... nikmat,"
Dirangsang sebegitu rupa
kontolku makin mengeras. Tetapi Bu Rahmi terus saja menjilati dan mencerucupi
anusku. Ia melakukannya sambil meremasi dan mengocok-ngocok kontolku yang makin
terpacak. Takut keburu muncar sebelum dipakai menyogok lubang memeknya, aku
meminta Bu Rahmi menghentikan aksinya.
Tubuh montoknya langsung
kutarik dan kutelentangkan di ranjang. Dalam posisi mengangkang, aku langsung
menungganginya. Bleesss... kontolku langsung membelesak di lubang nikmatnya
yang basah. Ia agak tersentak. Mungkin karena aku menggenjotnya secara
tiba-tiba. Namun ia tidak mengeluh dan malah mendesah nikmat.
"Ah... sshh... aahh..
enak banget. Marem banget kontolnya Pak Anto,"
Dan lenguhannya makin menjadi
ketika aku mulai memompanya. Aku mencolok-colok dan memaju-mundurkan pinggangku
dengan tempo cepat. Tubuh Bu Rahmi terguncang-guncang dan susunya yang besar
bergoyang-goyang. Gemes dan merangsang banget melihatnya. Aku jadi tergerak
untuk meraba dan meremas-remasnya sambil menikmati kehangatan lubang nikmatnya.
Aku sudah beberapa kali
menyetubuhi Bu Rahmi. Tetapi sepertinya tidak pernah bosan. Memek Bu Rahmi
meskipun sudah lumayan longgar tapi tetapi terasa kesat dan liat. Terlebih bila
ia sudah memain-mainkan otot-otot bagian dalam lubang vaginanya. Erangan dan
desahannya juga selalu mengipasi nafsuku.
Cukup lama kami saling memacu.
Sampai akhirnya Bu Rahmi mengisyaratkan bahwa ia hampir memperoleh orgasmenya.
Maka kocokan dan sogokan kontolku di lubang kemaluannya kian kutingkatkan.
Berdenyut-denyut batang kontolku dibuatnya saat Bu Rahmi mulai mengimbangi
dengan empotannya. Akhirnya Bu Rahmi memperoleh apa yang didambanya dan aku pun
sama. Spermaku menyemprot dan membasahi liang vaginanya. Tubuhku ambruk di
kemontokan tubuh wanita yang basah oleh keringat.
kita tidak usah munafik. seks adalah kebutuhan kita
BalasHapussetuju kenapa musti munafik gan
HapusBagi wanita yg berumur diatas 40 thn yg masih mau bercinta dgn saya....hub i saya 085696575455/085289639525
BalasHapus